INHILNEWS.Com – Salah satu perkumpulan majelis ilmu yang dihadiri banyak jamaah termasuk anak-anak. Foto Ilustrasi/Istimewa
Ada satu kisah menarik disampaikan Habib Quraisy Baharun (pimpinan Ponpes As-Shidqu Kuningan) yang mengingatkan kita betapa kesombongan sangat dibenci Allah Ta’ala. Kisah ini dinukil dari Kitab Fathul Majid karya Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi As-Syafi’i.
Dikisahkan, saat Imam Abu Hanifah berusia 7 tahun, ada seorang ulama berilmu luas dan tiada bandingannya bernama Dahriyah. Seluruh ulama pada masa itu tidak ada yang mampu menandinginya saat berdebat, terutama dalam hal Tauhid.
Maka muncullah sifat kesombongannya, bahkan ia berani mengatakan bahwa Allah itu tidak ada. Pada suatu pagi para ulama dikumpulkan di sebuah majelis milik Syeikh Himad (guru Imam Abu Hanifah). Hari itu Abu Hanifah kecil ikut hadir dalam perkumpulan majelis itu.
Dahriyah pun naik ke mimbar lalu berkata dengan sombong dan congkaknya: “Siapakah di antara kalian hai para ulama yang akan sanggup menjawab pertanyaanku?”
Sejenak suasana hening, para ulama semua diam, namun tiba-tiba berdirilah Abu Hanifah kecil dan berkata: “Omongan apa ini? Maka barang siapa tahu pasti ia akan menjawab pertanyaanmu.”
“Siapa kamu hai anak ingusan, berani kamu bicara denganku. Tidakkah kamu tahu, bahwa banyak yang berumur tua, bersorban besar, para pejabat, dan para pemilik jubah kebesaran, mereka semua kalah dan diam dari pertanyaanku, kamu masih ingusan dan kecil berani menantangku,” kata Dahriyah.
Abu Hanifah menjawab: “Allah tidak menyimpan kemuliaan dan keagungan kepada pemilik sorban yang besar dan para pejabat dan para pembesar, tetapi kemuliaan hanya diberikan kepada al-Ulama.”
“Apakah kamu akan menjawab pertanyanku?” tanya Dahriyah.
“Ya, aku akan menjawab pertanyaanmu dengan taufiq Allah,” kata Abu Hanifah kecil.
Dahriyah bertanya: “Apakah Allah itu ada?”. Lalu Abu Hanifah menjawab: “Ya, ada,”
“Dimana Dia?” tanya Dahriyah. Kemudian Abu Hanifah menjawab: “DIA, tiada tempat bagi-Nya.”
Dahriyah bertanya lagi: “Bagaimana bisa disebut ada bila DIA tak punya tempat?”
“Dalilnya ada di badan kamu, yaitu Ruh. Saya tanya, kalau kamu yakin Ruh itu ada, maka di mana tempatnya? Di kepalamu, di perutmu atau di kakimu?” kata Abu Hanifah kecil.
Mendengar jawaban itu, ulama sombong bernama Dahriyah terdiam seribu bahasa dengan wajah malu.
Lalu Abu Hanifah meminta air susu pada gurunya, Syeikh Himad, lalu bertanya kepada Dahriyah: “Apakah kamu yakin di dalam susu ini ada manis?”
“Ya saya yakin di susu itu ada manis,” jawab Dahriyah.
Abu Hanifah kecil berkata: “Kalau kamu yakin ada manisnya, saya tanya apakah manisnya ada di bawah, atau di tengah, atau di atas?”
Lagi-lagi Dahriyah terdiam mendengar jawaban Abu Hanifah itu dengan rasa malu. Kemudian Abu Hanifah menjelaskan: “Seperti Ruh atau manis yang tidak memiliki tempat, maka seperti itu pula tidak akan ditemukan bagi Allah tempat di Alam ini baik di ‘Arsy atau dunia ini.
Dahriyah bertanya lagi: “Sebelum Allah itu apa dan setelah Allah itu apa?”
Abu Hanifah menjawab: “Tidak ada apa-apa sebelum Allah dan sesudahnya tidak ada apa-apa”.
“Bagaimana bisa dijelaskan bila sebelum dan sesudahnya tak ada apa-apa?” tanya Dahriyah penasaran.
“Dalilnya ada di jari tangan kamu, apakah sebelum jempol dan apakah setelah kelingking? Dan apakah kamu bisa menerangkan jempol duluan atau kelingking duluan? Demikianlah sifat Allah. Ada sebelum semuanya ada dan tetap ada bila semua tiada. Itulah makna kalimat Ada bagi Hak Allah,” jelas Abu Hanifah kecil.
Lagi-lagi Dahriyah dipermalukan, lalu ia berkata: “Satu lagi pertanyaanku, apa perbuatan Allah sekarang?”
Abu Hanifah menjawab: “Kamu telah membalikkan fakta, seharusnya yang bertanya itu di bawah mimbar dan yang ditanya di atas mimbar.”
Akhirnya Dahriyah pun turun dari mimbar dan Abu Hanifah naik ke atas mimbar. “Apa perbuatan Allah sekarang?” kata Dahriyah mengulangi pertanyaannya.
“Perbuatan Allah sekarang adalah menjatuhkan orang yang tersesat seperti kamu ke bawah jurang neraka dan menaikkan yang benar seperti aku ke atas mimbar keagungan,” kata Abu Hanifah kecil dengan bijak.
Demikian kisah Abu Hanifah kecil dengan seorang ulama sombong yang sarat hikmah. Maha Suci Allah yang telah menyelamatkan keyakinan Islam melalui lisan anak kecil bernama Abu Hanifah yang kini menjadi salah satu imam madzhab dalam sejarah Islam. Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat tinggi hati, angkuh, merendahkan orang lain, buruk sangka, takabbur, zalim, sombong.
Untuk diketahui, Abu Hanifah (80-150 H) lahir dari keluarga pedagang. Ayahnya bernama Tsabit, pedagang sutra yang masuk Islam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Abu Hanifah hidup dalam dua kekuasaan dinasti Islam terbesar, Umawiyah dan Abasiyah. Abu Hanifah wafat pada tahun 150 Hijriyah. Pada tahun itu pula Muhammad bin Idris al-Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i) lahir di Gaza, Palestina.
يٰۤـاَيُّهَا النَّبِىُّ قُلْ لِّاَزۡوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ يُدۡنِيۡنَ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ جَلَابِيۡبِهِنَّ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَنۡ يُّعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(QS. Al-Ahzab:59)
Sumber