InhilNews – Matematika memiliki reputasi sebagai mata pelajaran yang dibenci pelajar. Bukan hal yang aneh mendengar keluhan anak sekolah yang kesulitan dengan soal matematika.
Salah satu alasan mengapa matematika menjadi momok adalah karena anak tidak menganggap angka dan rumus sebagai hal yang menarik, seperti halnya pelajaran sejarah, sains, atau subyek pelajaran lainnya.
Anak melihat matematika sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak relevan, yang sulit dimengerti.
“Matematika sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, karena terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, kuncinya agar anak suka belajar matematika, harus dikaitkan dengan sesuatu yang kontekstual,” kata pengamat pendidikan dan sains Indra Charismiadji.
Ia memberikan contoh, jika diberikan soal satu pertiga dikurangi satu perenam, mungkin akan sulit.
“Tapi coba dari soal itu ditambahkan rupiah, pasti jadi cepat. Kalau dari awal anak-anak diajarkan sesuatu yang kontekstual, sesuatu yang ada dalam kehidupan sehari-hari, pasti akan lebih mudah,” kata Indra.
Tunjukkan pada anak soal-soal matematika dalam skenario kehidupan sehari-hari, misalnya saat menghitung kembalian di toko atau menghitung pecahan saat menimbang bahan-bahan kue di dapur.
Matematika bisa diajarkan sejak anak usia dini, namun menurut Indra, bukanlah dalam bentuk calistung (membaca tulis dan hitung) yang sifatnya menghapal.
“Di usia balita, kecepatan anak menerima informasi belum terbentuk. Jadi, jangan mengajarkan simbol angka. Nanti setelah anak berusia di atas 6 tahun, baru kemampuan spasialnya untuk membaca simbol terbentuk,” paparnya.
Ia mengatakan, anak yang terlalu dini diajarkan calistung dan simbol-simbol, kemampuan literasinya akan rendah karena anak hanya bisa membaca simbol.
“Mereka bisa membacanya, tapi belum tentu paham artinya. Lagi pula, anak-anak usia dini dunianya adalah bermain, jadi biarkan mereka puas bermain,” katanya.
Anak-anak yang mengandalkan daya ingatnya saat belajar matematika tak akan mampu berpikir kreatif.
Sumber: Kompas.com