INHILNEWS.Com – Pada diri Rasulullah –menurut Al-Qur`an Surah Al-Ahzab [33]: 21– ada keteladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir. Termasuk juga misalnya, dalam gaya berbicara.
Imam At-Tirmidzi dalam “Asy-Syamaa’il Al-Muhammadiyah” (1993:83, 184) berdasarkan beberapa riwayat, menguraikan beberapa cara Nabi dalam berbicara.
Pertama, pelan-pelan atau tidak tergesah-gesah. Ini sesuai dengan ungkapan, “Tergesah-gesah merupakan perbuatan setan, dan tenang berasal dari Allah.”
Kedua, memilih diksi kata yang jelas sehingga bisa dipahimi lawan bicara. Salah satu sifat beliau adalah tabligh. Yaitu yang mempunya kemampuan untuk membicarakan sesuatu dengan jelas dan mengena hati pembicara.
Ketiga, berkata dengan perkataan yang tegas. Tidak bertele-tele dan tak ambigu sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dari lawan bicara.
Ini sesuai dengan riwayat ‘Aisyah yang mengatakan, “Rasulullah SAW tidak berbicara cepat sebagaimana bicara kalian ini. Namun beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas dan tegas, hingga orang yang duduk bersama beliau dapat menghafalnya.” (HR. Tirmidzi)
Keempat, mengulangnya sebanyak tiga kali agar bisa dipahami. Ini sesuai dengan penuturan Anas bin Mali Ra., “Rasulullah SAW suka mengulang kata-kata yang diucapkannya sebanyak tiga kali agar dapat dipahami.” (HR. Tirmidzi)
Kalau diperhatikan dalam banyak haditsnya, beliau memang sering mengulang-ngulang perkataannya agar mudah dipahami. Meski begitu, tidak dalam semua pembicaraan. Itu semua kembali kepada kondisi lawan bicara.
Kelima, membuka dan menutup perkataannya dengan bismillah. Dengan bismillah, pembicaraan yang pada asalnya hanya bernilai dunia, lebih bermakna dan bernilai akhirat.
Keenam, berbicara dengan kalimat singkat yang padat maknanya. Dalam istilah hadits disebut “Jawāmi’ul-Kalim” (kata singkat tapi padat makna).
Ketujuh, pembicaraan beliau rinci dan pas. Tidak lebih dan kurang sesuai dengan keperluan. Bahasa kita mungkin tidak lebay.
Ini sesuai dengan hadits beliau, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ketika meninggalkannya apa yang tidak bermanfaat baginya.” Termasuk dalam berbicara. Pada riwayat ini dijelaskan, beliau lebih banyak berpikir dan irit bicara kalau tidak perlu.
Kedelapan, tidak kasar (lemah lembut). Padahal, orang Arab pada saat itu terbiasa berbicara kasar.
Kesembilan, tidak keluar kata celaan pada kalimatnya. Dalam riwayat lain misalnya, kalau terpaksa harus menegur biasanya menggunakan kata-kata sindiran yang sifatnya tidak menyakiti lawan bicaranya.
Kesepuluh, mengekspresikan kata-katanya dengan anggota tubuh. Misalnya kedua tangannya. Ini menunjukkan ketika berbicara beliau lakukan dengan ekspresi yang bisa memantik simpati lawan bicara. Ini sesuai dengan cerita Hind bin Abi Halah yang mendapatkannya dari Hasan bin ‘Ali Ra.
Gaya bicara ini, bila dipraktikkan oleh muslim –bahkan nonmuslim sekali pun– pada kehidupan sehari-harinya akan terjalin komunikasi yang hangat dan sarat akan keakraban dan simpati. Semoga kita bisa meneladani beliau.
Sumber : Indonesia inside